MAKALAH ULUMUL HADITS

ILMU HADITS:KUALITAS PERAWI

MUHAMMAD IBRAHIM DAPUBEANG
 (201410020311025)
Program Studi Syari’ah(Ahwal-Syakshiyyah)
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang

Abtrak :
            Agama islam adalah agama yang di turunkan oleh allah SWT yang memiliki dua landasan hukum yang di sampaikan kepada mahlukya, yaitu al-quran dan as-sunnah, al-qur’an adalah suaktu mukjizat yang di sampaikan kepada nabi muhammad SAW, dan as-sunnah adalah semua perbuatan nabi muhammad SAW, di dalam dua sumber hukum tersebut  terdapat hukum-hukum tentang islam baik itu berupa hukum ibadah maupun hukum dalam kehidupan sehari hari, seperti kesopanan, adab, dan yang lainya, sehigga alqur’an di jadikan oleh kaum muslimin sebagai pedoman dan juga sebagai dasar hukum islam. Alqur’an yang memiliki pengertian yang sangat luas menjadikan al-qur’an sangat sulit di pahami sehingga adanya hadist sebagai penjelas al-qur’an.
            Hadist adalah perkataan, perbuatan maupun penetapan yang di sampaikan oleh rasulullah SAW kemudian para sahabat, tabi’in, tabiq tabiin, maupun para ulama hadist, setelah rasullulah SAW wafat para sahabat  mengumpulkan hadist agar dapat di pahami dan mudah untuk membahas  al-qura’an, sehigga menjadikan hadist sebagai sumber hukum kedua dalam islam, , dan pada masa setelah wafadnya rasullulah SAW banyak hadits-yang di sampaikan oleh para sahabat dan para ulama setelahnya dan banyak hadist yang di sampaikan oleh orang-orang yang memiliki sifat pembohon bahkan hadist palsu sehingga para ulama hadist membagi hadist dalam tiga macam terutama dalam masalah kualitas hadits.

Kata kunci : hadits, perawi,mukjizat,kesopanan, sahabat, tabi’in.

A.   Pendahuluan
Hadits merupakan sumber hukum islam yang ke dua setelah Al Quran. Sebagai sumber ajaran Islam yang sangat terpenting bagi umat Islam sebagai penjelasan dari Al Quran, dan hadits adalah penjelas bagi al-quran sehigga hadist sangat di perlukan dalam islam terutama dalam masalah ibadah. dan juga masalah hukum islam,  sehigga menjadikan hadist sebagai dalil bagi orang-orang muslim.
pembahasan mengenai hadits ini sangat penting untuk diketahui dan dipelajari makna, isi serta kandungan hadits tersebut. Sehingga timbul beberapa hal yang melatar belakangi sejarah lahirnya ilmu hadits di antaranaya adalah semakin banyaknya hadits yang beredar di masyarakan dan adanya nabi palsu pada masa jaman abu bakar sidiq dan setelahnaya.
Dan karena banyaknya hadits-hadits yang beredar di masyarakat, dan juga banyak yang meriwayatkan hadits, hadits tersebut di  pada masa tabiq tabi’in yaitu pada masa setelah tabi’in di kumpulkan oleh parasahabat dan banyak yang mengarang tentang hadits diantaranya yaitu bukhari dan muslim.
Para ulama dan puqoha hadits sudah banyak sekali membuat formula - formula yang mengetengahkan mengenai pembahasan hadits ini baik itu pada masa sahabat terdahulu maupun pada masa tabi’in sampailah kepada masa kita sekarang ini. Pembahasan tersebut dimulai dari vasioliditas jalur periwayatannya yang disebut Sannad Hadits, sehingga sampai kepada kesahihan isi dari suatu hadits yang dikeluarkan oleh Rasulullah Saw, yang disebut sebagai matan hadits, dan para ulama menbagi bagi hadist baik dari segi kuantitas kualitas dan lain-lainya,yang masih berhubungan dengan matan hadist.
Baginda Rasulullah Saw, sebagai sumber keluarnya hadits tentu banyak sekali ucapan perbuatan dan penetapan beliau dalam menyampaikan sesuatu yan oleh ulama hadits disebut hadits dimanapun beliau berada dan kapanpun beliau menyampaikan fatwanya kepada para sahabat-sahabatnya hingga sampaikan hadits Rasulullah tersebut kepada masa kita sekarang ini.]
 Dan pada masa sekarang banyak hadist yang di permasalahkan baik dari segi antitas maupun kualitas sehingga banyak para ulama yang mempengunakan hadist bahkan tidak karena banyak sekali hadits yang bercampur tangan manusia dan tidak memiliki dasar yang tepat pada matan maupun perawi hadist . Maka dalam kesempatan ini saya akan membahas sedikit tentang ilmu hadits di dalam segi kualitas hadist yaitu (1) hadist shahih (2) hadist hasan (3) hadis doif bai itu pengertian, syarat-syarat dan macam-macam hadist.





B.       Pembahasan 
1.        Hadist Shohih
1.1    Pengertian hadis shohih
Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat)Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih adalah Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat.
Jadi dapat di simpulkan bahwa hadist shohih adalah hadist yang tidak memiliki cacat sedikitpun dan juga memiliki sanat yang kuat, dan perawinya banyak sehigga hadist shohih banyak di gunakan untuk dalil dalam islam, dan hadist shohih adalah hadist yang paling baik untuk di gunakan sebagai dasar hukum maupun hukun islam.

1.2    Syarat-syarat hadis shohih
Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis untuk dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu:
a.    muttashil sanadnya,
b.    Perawi-perawinya adil
c.    Perawi-perawinya dhabit
d.   Yang diriwayatkan tidak syaz,
e.    Yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)
Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a.  Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b.  Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya,  akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c. Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar dari illat.

1.3  Pembagian Hadis Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a.       Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ    ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك  

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.
b.      Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain(Ismail, 1994:180-181).
Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة.

 Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai ashahhul asanid.

2.    Hadist Hasan
2.1 Pengertian Hadis Hasan
Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:

a.    Sanad hadis harus bersambung.
b.    Perawinya adil
c.    Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.   Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah).

2.2              Syarat-syarat hadist hasan
adapun syarat-ayarat hadis hasan adalah sebagai berikut :
 muttashil sanadnya,
a.    Perawi-perawinya adil
b.    Perawi-perawinya dhabit
c.    Yang diriwayatkan tidak syaz,
d.   Yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya).

2.3     Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.  Hadis hasan li dzatihi
Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b .  Hadis hasan li ghairihi
Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if(Ismail, 1994:182).
Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.
              Contoh hadis hasan:

حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ
 عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut  adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya.
            Contoh hadis shahih li ghairihi:

حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                               

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
 Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain.
Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)  hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b) bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal.
Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.

3.    Hadits Dha’if
Hadist dhaif adalah :

مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَاتُ الْقُبُوْلِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ

“Apabila tidak terkumpul sifat-sifat (yang menjadikannya dapat) diterima (shahih), karena hilangnya salah satu dari syarat-syarat (hadits shahih).”
Jadi hadist dhaif adalah hadist yang Tidak terkumpul sifat-sifat yang menjadikannya dapat diterima adapun syarat diterima suatu hadits, sebaimana yang telah dibahas, antara lain; Memiliki sanad hingga kepada Nabi saw,Sanad nya bersambung,Rawinya ‘adil dan dhabith,Tidak mengandung syadz,Tidak ada illah  Hilangnya salah satu syarat diterimanya hadits Apabila hilang syarat yang pertama, maka hadits itu tidak bisa dinisbahkan kepada nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melainkan disandarkan kepada shahabat, tabi’in atau tabi’ tabi’in, sesuai dengan nama yang tercantum di dalam sanad tersebut.[1]
Apabila tidak terpenuhi syarat kedua, maka hadits itu dinamakan mursal.
Apabila tidak terpenuhi bagian pertama dari syarat yang ketiga, yaitu sifat ‘adil, maka hadits itu termasuk matruk atau maudhu’, dan jika tidak ada syarat ketiga bagian yang kedua yaitu dhabth maka hadits tersebut disebut dha’if, matruk, atau bahkan maudhu’ yang disebabkan oleh kelemahan rawi.
Apabila hilang syarat yang keempat, maka hadits itu dinamakan syadz atau matruk.Dan apabila tidak memenuhi syarat yang kelima, maka hadits itu dinamakan mu’allal.


3.1    Pembagian Hadits Dha’if
Hadits dha’if menurut derajat kedha’ifannya dapat dibagi menjadi dua bagian;
1)      Hadits yang kedha’ifannya ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan hadits yang setingkat dengannya akan hilang dha’ifnya, dan meningkat menjadi hasan lighairihi. Seperti karena rawinya adalah seorang yang dha’if yang masih ditulis haditsnya, tetapi tidak bisa menjadi argumen apabila hanya diriwayatkan-nya seorang diri, atau karena di dalam sanadnya terdapat inqitha’ (keterputusan) karena mursal, atau tadhis.
2)      Apabila tingkat kedha’ifannya berat, maka tak ada artinya banyaknya tabi’ (pendukung), yaitu apabila rawinya pendusta atau tertuduh pendusta, matruk karena buruknya hafalan atau karena banyaknya kesalahan, atau majhul ‘ain yang tak diketahui sama sekali identitasnya.
Contoh Hadits Dha’if berat, dengan sebab kedha’ifan dalam hal ‘adalah (keadilan) adalah; Hadits yang dikeluarkan oleh Al Khathib Al Baghdadi  di dalam Iqtidha’ Al Ilmi Al ‘Amali (69) dengan jalan:

عَنْ أَبِي دَاوُدَ النَّخَعِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْغَطْفَانِي، عَنْ سَلِيْكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِذَا عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ، كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ، وَيَحْرُقُ نَفْسَهُ

Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Ubaidilah Al Ghathfani, dari Salik, ia berkata; Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; Apabila seorang berilmu mengetahui tetapi tidak mengamalkan, maka ia seperti lampu yang menyinari orang lain tetapi membakar dirinya sendiri Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy adalah Sulaiman bin Amr. Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia pernah memalsukan hadits”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang paling dusta”. Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan hadits”. Al Bukhari berkata, “Dia ditinggalkan haditsnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai pendusta”.Dengan demikian hadits tersebut melalui sanad ini adalah maudhu’, karena kedha’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah (keadilannya).[2]
Contoh hadits Dha’if  berat yang disebabkan oleh kelemahan rawinya dalam dhabth, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu Al Auliya’ (8/252) dengan jalan;

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ خُبَيْقٍ، حَدَّثَنَا يُوْسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ الْعُرْزُمِيّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سَلِيْمٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ، وَيَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ، فَإِنَّهُ ذُوْ بَرَكَةٍ، أَلاَ وَإِنَّ الْحَارَّ لاَ بَرَكَةَ فِيْهِ

Dari Abdillah bin Khubaiq, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Asbath, dari Muhammad bin ‘Ubaidillah Al Urmuzi, dari Shofwan bin Salim, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membenci cos dan makanan panas, dan beliau bersabda; Hendaklah kalian (memakan makanan) yang dingin, karena padanya terdapat berkah. Ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada berkahnya.Di dalam sanad hadits ini, Muhammad bin Ubaidullah Al ‘Urzumiy adalah rijal yang matruk (ditinggalkan haditsnya) karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah seorang yang shalih tetapi kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan hadits dari hafalannya. Dari itulah ia mengajarkan hadits tidak seperti yang tidak diajarkan oleh orang-orang yang siqah, sehingga ahli hadits meninggalkan haditsnya.

C. Penutup
1.  kesimpulan
Banyaknya hadist yang di sanpaikan oleh rasullulah SAW yang di jadikan dasar hukum bagi umat manusia dan banyak yang membahas tentang ilmu hadist terutama kaum muslimin, dari sekian banyak hadits-hadist rasullulah SAW masih ada hadist yang belum jelas maksut dan tujuan hadits tersebut karena lemahnya ilmu pengetahuan tentang hadist tersebut dan juga banyak yang salah mengartikan hadist tersebut karena kecerobohan, kurang pengetahuan manusia.  sehingga solusinya adalah para ulama hadist membagi hadist ke beberapa golongan dengan penjelasan-penjelasan yang dapat di terima dan juga keaslian hadist-hadits tersebut melalui peryataan, ungkapan-ungkapan para ahli hadist dan juga dari mana hadist tersebut di ambil sehigga dapat di nilai oleh para ulama hadits tersebut layak di gunakan atau sebaliknya.

2.    Saran
            Terdapat  beberapa saran yang ingin saya unkapkan yaitu bagaimana para ulama hadits dan juga para ahli hadist dapat membagi hadits-hadist yang dapat di pergunakan atau tidak, dan jangan senbarangan  mengunakan hadist yang tidak sesuai dengan hadist yang telah di tentukan dan memenuhi syarat-syarat hadist yang telah di sepakati, apabila kita tidak menerapkan hadist tersebut maka perselisihan antara pemakainyan hadist tidak dapat di hindarkan dan perselisihan hukum dan juga pendapat para ulama yang selalu berbeda, dengan sebab itu sebagai umat islam maka harus bersatu dan juga saling memahami tentang hukum tersebut tampa ada pesselisihan dan juga perbedaan antara golongan.

D.      Daftar pustaka
Ismail syuhudi.1994.pengantar ilmu hadist.bandung:angkasa.

Subhi Shalih.1998.Ulumul Hadis Wamustalahatuhu. Jakarta:Beirut Dar alIlm.

Nawir Yuslem.2001. Ulumul hadis.jakarta: Mutiara sumber Widya



[1] Ismail.1994.pengantar ilmu hadist.bandung:angkasa
[2] Nawir.2001.Ulumul hadis.jakarta:Mutiara sumber Widya.

Komentar

Postingan Populer